Marah, Berdampak Buruk Yang Parah
23.51.00
Orang yang
kuat, adalah orang yang dapat menguasai diri ketika marah. Orang yang
dapat mengendalikan diri dan mengontrolnya saat marah itulah orang yang
kuat. Sikap ini termasuk akhlak yang baik. Jika engkau terpicu akan
marah, janganlah memuntahkannya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, maka sesungguhnya ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku wasiat”. Maka beliau bersabda, “Janganlah engkau marah”. Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, namun beliau tetap bersabda, “Janganlah engkau marah”. (HR. al-Bukhari no.6116)
Sebuah pesan yang penting, “Jangan marah”!
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadits yang berisi
wasiat penting bagi segenap umat Islam dalam Shahihnya. Tepatnya, dalam
kitab al-Adab bab mewaspadai amarah, dari Sahabat yang memiliki paling
banyak hafalan hadits, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam
untuk meminta dari beliau satu pesan penting. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam berpesan kepadanya untuk tidak marah. Sepertinya, orang
yang meminta pesan tersebut merasa hanya mendapatkan pesan yang terlalu
singkat dan sedikit, maka ia pun mengulang permintaannya kembali dengan
harapan memperoleh pesan yang lain. Hanya saja, wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kepada lelaki tersebut tidak lebih dan tidak kurang dari perkataan, “Janganlah engkau marah”.
Apa hikmahnya?
Sebagian Ulama menerangkan bahwa lelaki tersebut sepertinya dikenal suka marah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab permintaan setiap orang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepadanya dengan pesan tersebut secara khusus, berangkat dari pengetahuan beliau tentang kondisi yang bersangkutan.
Meski demikian, nasehat, wasiat dan pesan singkat ini berlaku bagi
orang lain dari umat Islam, sebab setiap orang dituntut untuk tidak
marah. Tahu sebabnya?. Sebelum kamu jawab, pernahkah kamu liat wajahmu
sendiri ketika marah?. Kalo belum, liat saja raut muka orang lain yang
sedang dilanda marah besar. Apakah menarik?. Wajah memerah, urat leher
tegang, mata melotot. Wajah akan tampak lebih buruk lagi bila disertai
mulut mengumpat, mengeluarkan kata-kata buruk dan nama-nama binatang.
Apakah tampak menarik atau menakutkan?. Yang pasti, tidak enak dipandang
khan.
Ketika orang telah terjerat emosi kemarahannya, maka banyak kerusakan
yang mungkin saja ia perbuat. Sebut saja, dari yang ringan: gelas
pecah, menyakiti orang, melukai, putusnya tali silaturahmi, bentrok
antar kampung, keluarnya vonis talak (bagi yang sudah nikah), atau
hingga yang berat, menghabisi nyawa manusia!!. Bahkan terkadang orang
yang marah besar tega menyiksa dan membunuh sesama hanya gara-gara utang
uang dengan nominal yang tidak lebih 100 ribu.
Kalo dikaitkan dengan dunia remaja alias dunia anak-anak muda yang
masih sekolah maupun kuliah, kemarahan bisa memicu tawuran
antar-sekolah, antar-fakultas ataupun antar-kampur. Dan terkadang
tawuran pun memakan korban jiwa. Ngeri khan. Kalo tawuran terjadi di
jalan umum, maka dampak buruknya bertambah, yaitu mengganggu ketertiban
dan mengancam keselamatan masyarakat. Seandainya mereka semua bisa
menahan diri dan mengekang emosi sesaatnya, maka hal-hal buruk bisa
dihindarkan.
Pesan yang tetap relevan
Di sinilah tampak keharusan seorang mukmin untuk berpikir cerdas,
hati-hati dan penuh hikmah. Sebab, di antara sifat kaum mukminin, Allah
telah menyebutkannya dalam firmanNya (yang artinya): “dan apabila mereka marah mereka memberi maaf” (QS. Asy-Syura: 37). Allah Ta’ala tidak menyebut mereka itu tidak marah. Namun, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “dan apabila mereka marah mereka memberi maaf”.
Dengan demikian, pesan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam
ini (dan petunjuk-petunjuk beliau lainnya) tetaplah relevan dengan
zaman kekinian dan memandu umat menuju kebaikan mereka di dunia dan
akhirat. Jadi, kita tidak perlu merasa aneh terhadap pesan Nabi ini dan
juga semua arahan beliau yang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan satu
logika yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya tentang manusia
yang kuat. Orang kuat, bukanlah orang yang berotot kekar dan dapat
mempecundangi lawan-lawannya. Bukan!. Akan tetapi, beliau bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah dengan mengalahkan (yang lain). orang
yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan diri ketika dilanda
kemarahan” (HR. al-Bukhari no.6114 dan Muslim no.2609).
“Orang yang kuat, adalah orang yang dapat menguasai diri ketika
marah. Orang yang dapat mengendalikan diri dan mengontrolnya saat marah
itulah orang yang kuat. Sikap ini termasuk akhlak yang baik. Jika engkau
terpicu akan marah, janganlah memuntahkannya. Mohonlah perlindungan
kepada Allah dari setan yang terkutuk. Bila engkau sedang berdiri,
duduklah, jika engkau (marah) dalam keadaan duduk, maka berbaringlah.
Bila amarah masih kuat, ambillah air wudhu agar emosi itu lenyap dari
dirimu” (Syaikh al-Utsaimin dalam al-‘Ilmu hlm.270).
Marah terpuji
Jenis marah yang tercela telah diungkap, marah untuk meluapkan emosi
pribadi dan keinginan balas dendam yang didorong oleh rasa jengkel
terhadap orang lain, tersinggung, tersakiti atau merasa dilecehkan.
Sedang marah yang terpuji, dan justru dituntut untuk marah, yaitu marah
karena Allah, sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau marah ketika larangan-larangan Allah dilanggar dan
perintah-perintah Allah diabaikan. Beliau marah karena Allah, bukan
untuk membela dirinya atau gara-gara tersinggung. Beliau justru
berlapang dada dan memaafkan orang-orang yang menyakiti beliau.
Beliau juga pernah memarahi Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma yang membunuh orang kafir yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah dalam suatu peperangan. Namun Usamah tetap membunuhnya karena menurutnya orang kafir itu mengucapkan kalimat thayyibah untuk menyelamatkan diri dari senjata Usamah. (HR. al-Bukhari ).
Beliau juga pernah memarahi Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma yang membunuh orang kafir yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah dalam suatu peperangan. Namun Usamah tetap membunuhnya karena menurutnya orang kafir itu mengucapkan kalimat thayyibah untuk menyelamatkan diri dari senjata Usamah. (HR. al-Bukhari ).
Demikianlah seorang mukmin, ia mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak marah karena tersinggung, akan tetapi mudah menahan amarah,
memaafkan dan berbuat baik kepada pihak yang memicu amarahnya, sesuai
dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya) : “maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah“ (QS asy-Syura:40).
Orang yang berinteraksi dengan masyarakat, pasti akan menghadapi dari
mereka hal-hal yang tidak mengenakkan. Maka, sikap terbaiknya terhadap
hal-hal tersebut adalah memaafkan dan mengabaikan sikap mereka saja. Dan
hendaknya ia yakin betul kalo dengan maaf, lapang dada dan membalas
dengan cara baik itu akan mengubah api permusuhan menjadi persahabatan
yang sangat kental.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (QS Fushshilat:34).
Memang musti melatih diri
Dengan melihat akibat buruk yang timbul dari emosi marah yang meluap, sementara kita belum memiliki kesabaran
dan pengendalian diri yang baik, maka kita musti melatih diri untuk
mengontrol amarah kita. Jauhi hal-hal yang memicu api kemarahan,
ingat-ingat terus bahwa menahan marah termasuk sifat utama dan karakter
orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala. Semoga bermanfaaat bagi
kita semua.
***Daftar bacaan:
- Al-Minhatu ar-Rabbaaniyyah fi Syarhi al-Arba’iin an-Nawawiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan,
- al-‘Ilmu, Syaikh al-Utsaimin
- dan lainnya.
0 komentar