HIPERTENSI DAN STROKE

20.51.00

Saat memimpin rapat penting perusahaan, secara tiba-tiba Pak Iwan ( nama samaran ) merasa tangan dan kaki sebelah kanan menjadi lemas, dan bicara menjadi pelo. Dalam hitungan beberapa menit kemudian pak Iwan pun tidak sadarkan diri. Pak Iwan segera dibawa oleh rekan-rekan sekerjanya ke rumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan medis segera. Dokter ahli saraf yang memeriksanya, menjelaskan bahwa pak Iwan terkena serangan Stroke karena hipertensi yang tidak terkontrol. Keluarga dan rekan sekantor cukup kaget, karena selama ini pak Iwan tidak pernah mengeluh sesuatu.


Cerita di atas, merupakan suatu ilustrasi betapa penyakit stroke datang secara tiba-tiba. Stroke atau "serangan otak" terjadi bila terdapat bekuan darah atau akibat pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan aliran darah pada suatu area di otak dan mengakibatkan kematian sel otak. Penderita Stroke dapat mengalami gejala kelumpuhan sebelah badan, gangguan menelan, gangguan memori, gangguan berpikir, dan gejala lainnya, tergantung pada area otak yang terkena. Pada keadaan yang fatal, seperti stroke yang mengenai area batang otak, maupun area yang cukup luas di otak, stroke dapat menyebabkan kematian.

Gejala stroke sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Hipocrates 2400 tahun yang lalu. Saat itu masih sangat sedikit diketahui tentang anatomi dan fungsi dari otak, penyebab stroke dan bagaimana mengatasinya. Pada pertengahan 1600 Jacob Wepfer menemukan bahwa gejala stroke yang timbul tersebut dapat disebabkan oleh adanya perdarahan dan sumbatan di otak.

Seiring berkembangnya ilmu kedokteran, saat ini telah banyak diketahui patofisiologi dan berbagai faktor risiko Stroke, begitu juga tentang penatalaksanaan Stroke. Namun perkembangan ilmu tersebut tidak mengubah banyak kedudukan Stroke sebagai penyebab kematian tiga besar terbanyak dan penyebab kecacatan utama. Berdasarkan fakta tersebut sudah selayaknya menempatkan pencegahan primer Stroke sebagai suatu tulang punggung untuk mengatasi masalah Stroke.

Fakta menunjukkan bahwa 70 % dari semua kejadian stroke setiap tahun merupakan serangan stroke yang pertama kali. Sebenarnya dengan mengetahui individu-individu mana yang merupakan stroke prone atau berisiko tinggi terkena stroke, intervensi pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin sehingga stroke tidak terjadi. Pendekatan tidak hanya mengidentifikasi faktor risikonya, namun juga risiko vaskular global dan menangani maupun memodifikasi berbagai faktor risiko ini.

Terdapat dua jenis faktor risiko stroke. Pertama, faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, ras, dan faktor genetik dan kedua, faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterol, kegemukan, penyakit jantung, alkohol, merokok, penyalahgunaan obat, sleep apnea, dan sebagainya. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama stroke terpenting. Hipertensi yang tidak terkontrol, tidak hanya menyebabkan kerusakan organ otak yang berakibat stroke, tetapi juga mengakibatkan gagal ginjal, gagal jantung, kerusakan vaskular mata maupun vaskular lainnya. Panduan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension - INASH) berdasarkan panduan The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ke 7, merekomendasikan penurunan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg (atau < 130/80 mmHg pada penderita diabetes). Pada panduan tersebut juga dijelaskan bahwa pendekatan penatalaksaan hipertensi bukan saja dengan pendekatan obat-obatan namun juga perubahan pola hidup. seperti olahraga yang teratur, penurunan berat badan, pengaturan diet termasuk diet rendah garam dapat mengurangi tekanan darah dan mengurangi kejadian Stroke.

Penggunaan obat-obat antihipertensi sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi, terlebih bila penderita hipertensi tersebut mempunyai faktor risiko lainnya, seperti diabetes, kegemukan, hiperkolesterol, maupun sudah terdapat kerusakan organ seperti otak, jantung dan ginjal. Namun sering terdapat pendapat keliru di masyarakat bahwa mengonsumsi obat antihipertensi akan menyebabkan ketergantungan. Hal ini menyebabkan beberapa penderita hipertensi enggan, dan baru mulai mengkonsumsi obat antihipertensi saat sudah terjadi kerusakan organ. Penderita hipertensi seringkali lebih takut akan efek samping obat dibandingkan dengan malapetaka akibat hipertensi itu sendiri. Sehingga tidaklah mengherankan bila pada lebih dari 20% penderita stroke , baru mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi saat sudah terkena stroke. Jadi sangatlah keliru menggunakan kata "ketergantungan". Penggunaan obat-obat antihipertensi adalah suatu "kebutuhan" dan bukanlah ketergantungan. Dengan penggunaan obat-obat antihipertensi secara teratur dan sesuai petunjuk dokter, sudah dapat mengurangi banyak kejadian kerusakan organ. Fakta menunjukkan penggunaan obat antihipertensif dapat mengurangi kejadian stroke 35% sampai 44% dan data penelitian lain menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah hanya 2 mmHg pun sudah mengurangi 10% risiko kematian akibat stroke dan 7% kematian akibat serangan jantung. Sehingga bukanlah hanya slogan Palang Merah Indonesia yang berbunyi "setiap tetes darah anda sangat berharga" namun fakta di atas menunjukkan bahwa " setiap millimeter tekanan darah anda sangat berharga". 


You Might Also Like

0 komentar